“PENELITIAN PERNIKAHAN ANTARBUDAYA
JEPANG DAN INDONESIA”
MATA KULIAH KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Bekasi, 20 November 2016
Preparing The Future
DI SUSUN OLEH:
ADE IRMA SURYANI (41182037150049)
DEVI VEVIANI (41182023150051)
TRI JAYA NUR FIARTO (41182037150058)
DOSEN PEMBIMBING: TIN HARTINI S. Ag., M. Si.
FAKULTAS: KOMUNIKASI, SASTRA & BAHASA
PROGRAM STUDI: ILMU KOMUNIKASI (B)
TAHUN AJARAN: 2016/2017
UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI
Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113
Telp.Fax : (021) 8808853
www.unismabekasi.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan nikmat serta hidayah-Nya, sehingga pembuatan penelitian sederhana kami yang berjudul “Penelitian Pernikahan Antarbudaya Jepang dan Indonesia” dapat terselesaikan. Tugas ini diajukan untuk pelaksanaan UAS semester tiga yang rencananya akan dilaksanakan pada 4 Januari 2016, sebagai pemenuhan nilai akhir Ujian Akhir Semester.
Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya, Ibu Tin Hartini S. Ag., M. Si. Yang turut membimbing pembuatan penelitian ini untuk mengarahkan kami untuk mencapai hasil yang maksimal. Tidak lupa kepada sumber-sumber data dari website yang turut mendukung mendukung efektifnya penjelasan dari makalah ini. Terutama kepada narasumber kami yang telah bersedia kami wawancarai meski jauh jaraknya, di Jepang, yaitu Ibu Meirina Badan Matsukura dan keluarga. Semoga penelitian ini dapat membawa pengaruh baik kepada kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan salah satunya.
Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari penelitian yang kami buat ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang budiman. Semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari pembuatan “Penelitian Pernikahan Antarbudaya Jepang dan Indonesia” ini.
Bekasi, 21 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 4
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penulisan 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaran 7
B. Dampak Pernikahan Antarbudaya 9
C. Komunikasi dalam Pernikahan Antarbudaya 10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Teknik Pengumpulan Data 12
BAB III PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Wawancara 13
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 1 20
LAMPIRAN 2 24
LAMPIRAN 3 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi bahwasanya komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya. Kebutuhan ini dapat terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan antar individu yang berakibat akan terisolasi apabila tidak berkomunikasi.
Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan, karena pada dasarnya, ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain berpotensi memunculkan gap (kesenjangan) di antara kedua belah pihak. Hal tersebut disebabkan karena budaya setiap orang selalu berbeda dengan orang lain, bahkan sekecil apapun perbedaannya. Budaya yang berbeda memiliki sistem nilai, norma dan adat yang berbeda pula. Oleh karena itu, perbedaan tersebut dapat mempengaruhi tujuan hidup tiap individu.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya ini, cara setiap orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budayanya, mencakup bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikasi maupun makna yang dimiliki setiap orang. Sehingga, perbedaan perilaku komunikasi yang dimiliki orang yang berbeda budaya akan menimbulkan kesulitan dalam berinteraksi. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan kesalahpahaman sering terjadi ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki perbedaan budaya. Masalah utamanya adalah setiap individu cenderung menganggap bahwa budayanya merupakan sesuatu keharusan yang mutlak tanpa harus diperdebatkan lagi (Mulyana & Rakhmat, 2003: vii). Oleh karena itu, setiap orang menggunakan budayanya sebagai
parameter untuk mengukur budaya-budaya yang lain. Salah satu fenomena tentang perbedaan budaya ini adalah pernikahan antarnegara atau antarbudaya.
Pernikahan beda budaya atau beda negara, memerlukan komunikasi yang baik dan efektif untuk menghindari konflik-konflik yang akan terjadi. Pasangan dengan perbedaan budaya juga harus memiliki pola pikir yang terbuka terhadap pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai, dan norma. Jika salah satu pasangan tidak memiliki pola pikir terbuka, maka akan terjadi pemaksaan kehendak oleh pasangan untuk melakukan kepercayaan, nilai, dan norma sesuai yang dianut pasangan (Rulliyanti, 2008: 130).
Perbedaan budaya pada pasangan pernikahan beda budaya yang terjadi pada sebuah keluarga menuntut adanya sebuah keputusan bersama untuk mengikuti budaya yang mendominasi. Hal itu membuat salah satu dari budaya pada sebuah keluarga secara tidak langsung mengikuti budaya yang mendominasi sehingga seiring berjalannya waktu akan terjadi sebuah proses peleburan (proses asimilasi). Sebuah pernikahan memerlukan pengertian dan saling memahami masing-masing pasangan dengan latar belakang keluarga yang berbeda budaya.
Dalam era globalisasi ini, Indonesia mengalami perkembangan di berbagai bidang, seperti perkembangan di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang-bidang lainnya. Sehingga dengan adanya hal tersebut, mengakibatkan banyaknya warga negara asing dapat menetap di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Dengan menetapkan warga negara asing di Indonesia akan terjadi percampuran kebudayaan, demikian pula dengan warga Indonesia yang tinggal diluar negeri, antara satu dengan yang lainnya akan terjalin suatu hubungan emosional dan tumbuhlah benih kasih sayang atau cinta diantara mereka sehingga muncul keinginan dari dalam hati mereka untuk meneruskan hubungannya sampai pada perkawinan. Tidak sedikit warga negara asing yang melakukan perkawinan dengan warga negara Indonesia meskipun berbeda kewarganegaraan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaraan?
2. Bagaimana pengalaman yang dialami pasangan didalam pernikahan antar warga negara ini?
3. Bagaimana komunikasi dapat mempengaruhi pernikahan antar warga negara ini?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan penelitian ini yaitu untuk memenuhi syarat ujian akhir semester ganjil. Untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang dimaksud dengan pernikahan antar warga negara. Penelitian ini bertujuan menggali pengalaman hidup para subjek yang berhasil dalam melakukan komunikasi dengan pasangan berbeda budaya. Dari pengungkapan pengalaman tersebut kemudian dapat ditemukan tema-tema peting dan esensi perilaku komunikatif yang menujang keberhasilan pernikahan berlatar perbedaan budaya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Istilah pernikahan antarbudaya yang digunakan dalam penelitian ini disebut oleh ahli ilmu komunikasi dengan istilah yang berbeda-beda. Romano (2008:1) menyebutnya sebagai inter-cultural marriage. Sementara Hondius (Culigova-Grethe, 2004:10) menamainya dengan istilah mixed marriage. Para ahli lain menyebut feno-mena ini dengan istilah cross cultural marriage, international marriage, interethnic marriage, intercultural relationship, atau intermarriage. Falicov (1986:429), salah seorang peneliti di bidang ini menyebut istilah intercultural marriage sama saja dengan istilah intermarriage dan cross-cultural. Ketiga istilah tersebut dapat saling di-pertukarkan.
Meskipun ada beragam terminologi yang digunakan untuk menamai fenomena ini, pengertian yang diberikan terhadap istilah ini ternyata relatif sama yakni sebagai pernikahan dua orang invidu yang memiliki latar belakang budaya ber-beda (Duan & Claborne, 2012:1, Romano, 2008: 11). Munurut Falicov (1986), kata budaya yang menyertai kata perkawinan dalam istilah ini pada kenyataanya memiliki pengertian yang luas dan cair karena mencakup juga perbedaan agama, etnik, status sosial, negara, bahkan ras. Apabila ditelusuri lebih jauh, pernikahan
antarbudaya ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Samsudin (2009) menyebutkan pernikahan yang melibatkan pasangan berbeda etnik atau budaya atau agama telah terjadi sejak masa lalu bahkan sebelum masehi.
Meskipun telah dipraktekan manusia sejak beratus tahun yang lalu, pada kenyataanya riset tetang fenomena pernikahan antarbudaya ini masih jarang dilakukan. Sepuluh tahun lalu, Romano (2008:10) mencatat riset dalam perkawinan antarbudaya masih sangat jarang dilakukan. Sementara Giladi-Mckelvie (1999) menyebutkan fenomena pernikahan antarbudaya ini sudah sangat menyebar, akan tetapi fenomena ini masih sering diabaikan oleh ilmuwan sosial atau komunikasi. Dalam riset pernikahan antarbudaya selama dua puluh tahun terakhir fokus penelitian lebih banyak diberikan pada faktor gender, penerimaan sosial, membesarkan anak, identitas, pegelolaan konflik, pemeliharaan budaya, duku-ngan sosial, komunikasi, asimilasi dan akulturasi.
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP).
Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
Peraturan mengenai perkawinan campuran atau disebut juga perkawinan beda kewarganegaraan yang pertama kali diatur dalam Staatsblaad tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR).
Menurut Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan” (Asmin, 1986 : 9 ).
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia. Menurut Undang-undang kewarganegaraan di dalam Undang-Undang Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 antara lain berisi ketentuan sebagai berikut:
Pasal 26 (1): “Perempuan warga negara indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.”
Pasal 26 (2): “Laki-laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraan republik Indonesia jika menurut hukum asal negara istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai perkawinan tersebut.”
Perkawinan canpur yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 59 (2) Perkawinan campuran itu tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang berlaku bagi pihak masing-masing telah di penuhi (H. Saidus Syahar, 1981 : 18).
B. Dampak Pernikahan Antar Budaya
Setelah menikah, pasangan beda warga negara ini pasti akan melakukan hal-hal yang dapat menjaga pernikahan mereka agar selalu harmonis. Hal itu dilakukan karena pasti akan dampak yang akan terjadi terhadap pernikahan antar warga negara ini. Mulai dari masalah kewarganegaraan hingga perbedaan budaya yang terjadi membuat kedua pihak mengalami culture shock.
Dalam Kepemimpinan Multikultural, Pencegah Gegar Budaya ( Cultural Shock ) Penyebab, Meletusnya Konflik Antar Etnis, (Seri Pendidikan Politik Rakyat Melalui Komunikasi Antarbudaya), Oleh: Ar. Kadir:
Perbedaan tradisi, budaya dan berbagai perilaku subkultur tertentu dalam kelompok masyarakat dapat dijadikan alat perekat membangun kebersamaan (togetherness) untuk tujuan dan tercapainya kepentingan bersama atas dasar saling peduli, saling menghormati dan saling mempercayai sesama anak bangsa.
Kata kunci yang sangat penting dalam komunikasi antar budaya adalah ketulusan dalam komunikasi dialogis setiap komponen dan anggota kelompok budaya, yang diiringi oleh sikap pribadi yang bebas dari rasa permusuhan dan prasangka.
Dalam Jurnal Ilmu Hukum Perkawinan Campuran Dan Akibat Hukumnya, Oleh: Sasmiar:
1. Anak yang lahir dari perkawinan campuran akan memperoleh
kewarganegaraan ganda sampai berusia 18 tahun atau sampai menikah. Setelah bersuia 18 Tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewaganegaraannya.
2. Perempuan WNI dan laki-laki WNI yang menikah dengan WNA dapat
kehilngan kewarganegaraan Indonesia, jika ingin tetap mnjadi WNI harus
menyatakan keinginannya kepada pejabat. WNA yang menikah secara sah dengan WNI dapat memproleh kewarganegaraan Indonesia jika sudah tinggal di Indonesia 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
C. Peran Komunikasi dalam Pernikahan Antar Budaya
Aspek komunikasi telah menjadi isu peting dalam pernikahan antarbudaya khususnya dalam se-puluh tahun terakhir. Namun demikian menurut Lewis &
Ford-Robertson (2010:2) selama tahun-tahun terkahir ini riset tentan perikahan antarbudaya lebih banyak membahas tentang penerimaan sosial, identitas diri, dan cara membesar-kan anak.
Meskipun Kajian Komunikasi pernikahan antarbudaya telah menjadi isu penting dalam sepuluh tahun terakhir, menurut Gaines & Ickes (2006) riset di bidang ini masih kurang berkembang. Padahal komunikasi dalam pernikahan antarbudaya sangat menantang karena pasangan yang bersatu dalam ikatan
pernikahan ini tidak cukup hanya bermodalkan cinta semata, tetapi juga harus memahami dan menghormati perbe-daan nilai, sistem keyakinan hingga tradisi keluarga. Pendeknya kedua pasangan tersebut harus pan-dai saling berbagi tentang latar belakang, dan ekspektasi-ekspektasi mereka.
Merujuk pada Houseworth (2008:11), Romano (2008:125) dan Donovan (2001:5) komunikasi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan membina pernikahan antarbudaya. Lewat komunikasi pasangan bisa saling berbagi cara pandang dan berbagi makna untuk mem-bangun pengertian bersama (common meaning) di antara suami istri. Sebaliknya tanpa berbagi perspektif, pasangan
dapat mempersepsi peris-tiwa atau situasi secara berbeda dan akhirnya menghambat proses saling mengerti. Apabila ini terjadi maka stress dan kekecewaan terhadap perkawinan akan muncul dan akhirnya menurun-kan kualitas hubungan dalam perkawinan (Peres, Schrift, 2001).
Riset di bidang komunikasi perkawinan antarbudaya selama sepuluh tahun terakhir, seperti dilakukan Donovan (2004), Salama (2001), Tiffany (2011) dan Romano (2008), diarahkan untuk mengetahui aspek-aspek komunikasi yang dianggap mampu mengatasi perbedaan budaya dan meningkatkan kualitas hubugan pasangan berbeda budaya. Namun demikian dari berbagai penelitian yang dilakukan, tidak ada satu peneliti pun yang secara tegas meyebutkan aspek-aspek perilaku komunikasi yang penting dipelajari untuk keberhasilan sebuah komunikasi perkawinan yang berlatar antarbudaya.
Romano (2008:130-144) sebagai ahli di bidang komunikasi pernikahan antarbudaya juga tidak secara tegas menyebutkan faktorfaktor komunikasi yang penting dalam menjalani per-nikahan antarbudaya. Namun demikian, tulisan-tulisan Romano pada dasarnya menyebutkan delapan aspek komunikasi yang perlu ada dalam pernikahan antarbudaya yang meliputi kemam-puan berempati, kesabaran, kesediaan mema-hami, empati, penyesuaian diri, fleksibel, toleran, dan keinginan untuk mengekspresikan pendapat dan ekspektasi diri terhadap pasangan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini berfokus pada pengalaman narasumber yang menjalani pernikahan antar warga negara. Lebih tepatnya, narasumber kami ini WNI yang sudah tinggal di Jepang mengikuti sang suami yang WNA. WNI yang menjadi narasumber kami adalah seoarng perempuan yang telah menikah sejak Februari 1997 dengan laki-laki berkebangsaan Jepang.
Data yang kami kumpulkan adalah bersumber dari hasil wawancara atau kualitatif deskriptif, dengan perempuan WNI ini dengan perantara video call LINE karena jarak antara kami dengannya yang tidak memungkinkan. Kami di Indonesia, tepatnya di Bekasi dan narasumber kami di Gunma-Ken, Jepang. Selain catatan dari wawancara, data kami juga bersumber dari beberapa jurnal ilmu komunikasi mengenai pernikahan antarbudaya atau antarnegara atau antar warga negara atau beda kewarganegaraan. Serta literatur menjadi tambahan kami untuk melengkapi penelitian sederhana kami tentang “Pernikahan Antarbudaya Indonesia Dengan Jepang Ini.”
Penelitian ini merupakan penelitian sederhana kami yang merujuk pada penelitian-peneltian sebelumnya sebagai titik acuan kami untuk menyelesaikan penelitian kami ini. Jadi, penelitian ini adalah terkait pengalaman narasumber yang kemudian kami kaitkan dengan teori yang ada tentang “Pernikahan Antarbudaya Indonesia dan Jepang” ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Wawancara
Penelitian yang coba kami bahas adalah penelitian tentang Pernikahan atau Perkawinan antarbudaya atau beda negara yang terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, yakni Warga Negara Jepang.
Meirina Badan Matskura adalah narasumber kami yang berkewarganegaraan Indonesia tepatnya berasal dari daerah Padang, Sumatera Barat yang merupakan istri dari Takashi Matskura yang berkewarganegaraan Jepang yang bertempat tinggal di Gunma-Ken. Dari hasil wawancara kami, diketahui bahwa Ibu Mei dan Bapak Takashi ini dikaruniai tiga orang anak dan sudah menikah sejak tahun 1997.
Pernikahan beda warganegara keluarga Matsukura ini dapat digolongkan pernikahan internasional dan pernikahan antar golongan seperti yang dijelaskan Staatblad 1896 N0. 158.
Menurut Staatblad 1896 N0. 158, pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan, 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut:
Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang
berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam
lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
Dalam jurnal Fenomenologi Komunikasi Perkawinan Antarbudaya, Antar Venus, Fakultas Komunikasi Universitas Riau Padjadjaran Bandung:
Romano (2008) dan Giladi-Mckelvie (1999) dan juga beberapa penelitian yang dilakukan oleh Richard lewis (2012) dan Phisoy Salama (2011), pernikahan yang sukses didefinisikan berdasarkan tiga kriteria yakni; (1) mampu bertahan selama sepuluh tahun atau lebih, (2) masing-masing pasangan merasakan kepuasaan dengan hubungan, dan (3) mereka berhasil mengatasi perbedaan dan konflik berlatar budaya secara baik.
Sepertinya, pernikahan keluarga Matsukura dapat dikatakan pernikahan sukses seperti penjelasan diatas. Mendengar pengalaman Ibu Mei selama menikah, kami merasa takjub. Selama 20 tahun menikah, ia mengaku bahwa jarang sekali mereka bertengkar. Suaminya sangat pendiam. Adakalanya saja tegas ketika memang sudah sangat dibutuhkan. Suami Ibu Mei ini juga dapat dikatakan sedikit bicara. Berbeda dengan apa yang kami fikirkan tentang orang Jepang yang sangat tegas dan sudah pasti banyak bicara yang bermakna agar dihormati. Tetapi lain dengan yang kami temukan pada keluarga Matsukura ini. Ternyata, perbedaan negara dan budaya tidak menghalangi keduanya untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Dalam jurnal Strategi Komunikasi Efektif Suami-Istri Beda Budaya Dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba Dalam Mendidik Anak Di Kota Medan) Lucy V. Hutajulu:
Pernikahan campuran merupakan sebuah tantangan baru bagi orang tua pelaku pernikahan campuran tersebut dalam hal mendidik anak. Latar belakang budaya yang berbeda dari masing-masing pihak akan sangat menentukan dalam pola mendidik anak. Hal ini kerapkali menjadi pemicu konflik ketika kedua pihak pelaku pernikahan terkesan saling mendominasi dalam menerapkan pola mendidik anak.
Anak-anaknya pun diketahui cukup pintar dan mendapat juara kelas di sekolahnya. Ini pun menjadi salah satu bukti keberhasilan pernikahan beda negara dan beda budaya. Betapa tidak, komunikasi lintas budaya yang terdapat dalam komunikasi antarbudaya ini, seperti berjalan dengan cukup baik. Saling menjaga komunikasi kepada anggota keluarga. Mendidik dan membimbing anak dengan saling melengkapi dan memadupadankan budaya dari kedua ayah dan ibu kepada anak-anaknya.
Ketika ditanya perbedaan antar keduanya, Ibu Mei merasa tak ada perbedaan. Karena sama-sama dari benua Asia, budaya timur menjadi dominan dalam keluarga ini. Jepang dan Indonesia hampir tak memiliki perbedaan. Bedanya, tingkat disiplin dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Kata ibu Mei, di Jepang tak ada mobil saling menyalip, semua taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Begitu pula, ketika di sekolah. Semua murid, saling mengerjakan piket sekolah untuk membersihkan kelas masing-masing tanpa penjaga sekolah seperti di Indonesia.
Ada hal lain yang membuat kami heran adalah suami dari Ibu Mei, Takashi Matsukura adalah penyuka makanan Padang. Kami awalnya mengira, orang Jepang tidak begitu menyukai makanan bersantan dan cukup pedas seperti makanan Padang, ternyata anak dan suaminya suka masakan dan makanan khas Padang. Ketika sempat berkunjung ke Indonesia, suami Ibu Mei ini pasti mencari makanan khas Padang. Ini adalah salah satu hal unik yang dapat ditemukan pada perkawinan campuran dari segi makanan. Biasanya, kepala keluarga yang akan mendominasi dari budayanya, namun tidak bagi keluarga Matsukura ini. tetapi ketika ditanya siapa yang paling dominan, Ibu Mei menyangkal hal itu, dan lebih senang menilai bahwa tidak ada yang dominan, nilai-nilai yang diambil adalah yang baikbaik saja. Baik dari Indonesia, khususnya Padang dan Jepang, khususnya Gunma.
Keseriusan Bapak Takashi Matsukura terlihat jelas ketika dia menyanggupi semua persyaratan yang diajukan Ibu Meirina terhadapnya dan menjadi mualaf. Keluarga Ibu Mei sungguh sangat khawatir bagaimana nanti anaknya jika ikut bersama suaminya ke Jepang. Apa yang akan terjadi pada kehidupan Ibu Mei selanjutnya menjadi pemikiran keras keluarga mengingat ini bukan pernikahan beda suku di Indonesia, melainkan beda negara. Terpisah jarak bermil-mil jauhnya. Berbeda kewarganegaraan dan juga keyakinan. Agaknya menjadi tantangan terbesar dalam menyatukan kedua beda budaya ini dalam menyatukan perbedaan keduanya.
Gegar budaya sempat dialami oleh Ibu Mei ketika baru saja pindah ke Gunma, Jepang. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena sang suami, Takashi Matsukura selalu mendampinginya selama tinggal di Jepang. Culture Shock yang dirasakan Ibu Mei ini seperti tidak biasa melihat acara keagamaan ke klenteng-klenteng peribadatan dan sikap orang-orang Jepang yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Tetapi lama kelamaan, Ibu Mei merasa sama sebenarnya seperti di Indonesia, hanya saja berbeda bentuk simbolnya.
Selanjutnya, pengalaman unik keluarga Matsukura ini adalah ketika di tahun 2009 mengunjungi Indonesia untuk beberapa waktu, mereka jadi tidak bisa berbahasa Jepang setelah kembali Jepang. Ibu Mei juga mengajarkan bahasa daerah Padang kepada anak-anaknya, untuk menjaga kelancaran komunikasi dengan keluarga besarnya di Padang. Sungguh, perpaduan yang manis dan sifat terbuka dari kedua belah pihak sehingga komunikasi antarbudaya yang terjadi menjadi seolah tidak terlihat.
Pada awalnya memang semenjak menikah hingga mempunyai anak, ia tidak diperbolehkan bekerja oleh sang suami dikarenakan takut tidak ada yang menjaga anak-anak jika kedua orangtua sibuk bekerja. Barulah ketika umur anak-anak mereka cukup, sekarang sudah ada yang menginjak Sekolah Menengah Pertama, Ibu Mei diperbolehkan bekerja setelah 17 tahun kelahiran anak pertamanya. Ibu Mei pun sebelumnya dan hingga sekarang awal baru meniti karirnya, juga berpartisipasi di kegiatan sosial di lingkungannya yang diwajibkan untuk diikuti.
Komunikasi merupakan jembatan untuk mengatasi perbedaan antara pasangan yang berbeda budaya. Pengalaman dan proses komunikasi yang dialami informan menunjukan adaya sepuluh tema penting yang muncul dalam komunikasi berlatar pernikahan antarbudaya ini yakni; Kesetaraan, keterbukaan, ekspresi rasa cinta, hati-hati menafsirkan, empati, open minded, tantangan, enjoy, penyesuaian, dan ngemong. Kesepuluh tema tersebut kalau dikelompokkan sebenarnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni tema-tema terkait ekspresi seperti kesetaraan, keterbukaan, dan ekspresi rasa cinta.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan didalam penelitian ini, simpulannya adalah sebagai berikut.
1. Pernikahan beda budaya memerlukan komunikasi yang baik dan efektif untuk menghindari konflik-konflik yang akan terjadi. Pasangan dengan perbedaan budaya juga harus memiliki pola pikir yang terbuka terhadap pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai, dan norma. Jika salah satu pasangan tidak memiliki pola pikir terbuka, maka akan terjadi pemaksaan kehendak oleh pasangan untuk melakukan kepercayaan, nilai, dan norma sesuai yang dianut pasangan. Komunikasi efektif yang ditunjukkan kedua pasangan dan seluruh anggota keluarga menjadi sangat penting untuk menjaga keharmonisan didalam pernikahan antar warga negara ini.
2. Perbedaan budaya pada pasangan pernikahan beda budaya yang terjadi pada sebuah keluarga menuntut adanya sebuah keputusan bersama untuk mengikuti budaya yang mendominasi. Hal itu membuat salah satu dari budaya pada sebuah keluarga secara tidak langsung mengikuti budaya yang mendominasi sehingga seiring berjalannya waktu akan terjadi sebuah proses peleburan (proses asimilasi). Sebuah pernikahan memerlukan pengertian dan saling memahami masing-masing pasangan dengan latar belakang keluarga yang berbeda budaya.
B. Saran
Kepada peneliti selanjutnya, semoga seluk beluk pernikahan antar warga negara dapat lebih dimaksimalkan. Diharapkan pembaca dapat memaksimalkan manfaat dari “Penelitian Pernikahan Antarbuday Indonesia dan Jepang” ini.
DAFTAR PUSTAKA
Samovar, Larry A. 2014. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.
Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
FENOMENOLOGI KOMUNIKASI PERKAWINAN ANTARBUDAYA. Antar Venus. Fakultas Komunikasi, Universitas Riau Padjadjaran Bandung.
KEPEMIMPINAN MULTIKULTURAL. PENCEGAH GEGAR BUDAYA (CULTURAL SHOCK ) PENYEBAB MELETUSNYA KONFLIK ANTAR ETNIS.
(Seri Pendidikan Politik Rakyat Melalui Komunikasi AntarBudaya) Oleh : AR. Kadir
HAK ANAK MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN DARI PERKAWINAN CAMPURAN. Oleh: Yunanci Putri Sugeha2 Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014
Jurnal Komunikasi adat Jawa dan Minangkabau
PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA
DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG –
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI. Program Studi Magister Kenotariatan
O l e h: DEBORA DAMPU
Jurnal Ilmu Hukum. PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Oleh: Sasmiar1.
PERKAWINAN CAMPURAN (Problematika dan solusinya). Drs. H. Nawawi. N, M.Pd.I dan Widyaiswara Madya. Balai Diklat Keagamaan Palembang
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM MANGAIN MARGA
(Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antar Budaya Dalam Praktek Mangain Marga Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Dan Jawa Di Soloraya). Tifani Helentina & Hamid Arifin. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
MANAJEMEN KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG MENJALANI PERKAWINAN CAMPURAN
(Studi Fenomenologi pada Pasangan Perkawinan Campuran Wanita Jawa dengan Pria Eropa). Nur Laili Oktafiani , Amir Hasan Ramli , dan Yunita Kurniawati
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.
STRATEGI KOMUNIKASI EFEKTIF SUAMI-ISTRI BEDA BUDAYA DALAM MENDIDIK ANAK. (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba Dalam Mendidik Anak di Kota Medan). Lucy V. Hutajulu.
LAMPIRAN 1
HASIL WAWANCARA
BIODATA NARASUMBER
Narasumber : Meirina Badan Matsukura (Istri Takashi Matsukura)
Umur : 43 Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Yoshida 956-15 Oizumi-machiOura-gun Gunma-Ken, Japan
Pendidikan : SMEA
Suami
Nama : Takashi Matsukura
Umur : 51Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Yoshida 956-15 Oizumi-machiOura-gun Gunma-Ken, Japan
Pendidikan : Universitas (Institute of Technology Tokyo University)
PERANTARA NARASUMBER
Nama : Chelsy Yulianti Shafira (Keponakan Meirina Badan Matsukura)
Umur : 20Tahun
Status : Mahasiswi
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. WaliSongo Raya Blok O Komp. Borobudur
Pendidikan : The London School Of Public Relations Jakarta
PERTANYAAN
1. Bagaimana awal mulanya Anda bertemu dengan calon Anda ?
“Pertama kali bertemu ditempat bekerja di Hotel Daichi Senen yang sekarang menjadi Hotel Lumire. Saat itu saya cashier dan suami saya adalah guest hotel. Awalnya biasa-biasa saja seperti tamu-tamu lainnya tapi setelah ia balik ke Jepang kami berkomunikasi lewat pos, dan kemudian telepon.”
2. Bagaimana proses pernikahan Anda ? Mengingat perbedaan latar belakang budaya yang berbeda !
“Kemudian setelah beberapa bulan berkomunikasi lewat telepon kemudian ia mengutarakan niat untuk melamar saya dan menyanggupi persyaratan seperti yang berlangsung di Indonesia, lumayan repot juga dan Alhamdulillah berhasil dilewati tanpa ada halangan dan sepertinya tidak ada latar belakang budaya yang berbeda, menurut ku sama karena kultur budaya Jepang dan Indonesia sama-sama dari Timur.”
3. Selama menikah, apa saja hambatan ketika berkomunikasi ?
“Selama kami menikah sepertinya tidak ada hambatan mungkin tergantung dari individunya saja, hampir tidak pernah kami bertengkar dan kebetulan suami saya seorang pendiam (sedikit bicara) tapi bijaksana, kami menikah pada bulan Februari 1997 dan mempunyai 3 orang anak yang pertama sudah menginjak kelas 3 SMA, yang kedua kelas 1 SMP, dan yang ketiga kelas 5 SD, dan ketiga-tiganya alhamdulilah mendapat ranking diatas rata-rata.”
4. Bagaimana cara mengatasinya ?
“Karena sama-sama dari Timur banyak persamaan seperti hubungan dengan keluarga ayah dan ibu mempunyai hubungan yang baik, hanya perbedaannya mereka yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi seperti disekolah, mereka menjaga merawat dan membersihkan sekolah bersama-sama dengan guru yang berbeda dengan di Indonesia yang sudah ada yang merawat dan membersihkan sekolah dengan bantuan pak penjaga sekolah mereka tertib mengantri dalam lalu lintas, mereka tertib dan lancar, belum pernah lihat ada mobil yang menyalip, sangat berbeda dengan Indonesia.”
5. Apa saja nilai-nilai, struktur sosial, dan adat istiadat dari budaya yang berbeda ini?
“Anak-anak sama-sama mengikuti budaya Ayah dan Ibu diambil baiknya saja.”
6. Bagaimana dulu tanggapan keluarga ketika akan menikah dengan orang Jepang dan berencana tinggal disana ?
“Kalau tanggapan keluarga terutama ibu tidak setuju sampai ibu menangis tetapi sudah dijelaskan kalau suami mau masuk Islam.
7. Pertama kali tinggal di Jepang pernah mengalami culture shock ?
“Yang pertama pasti shock kaya lain, tetapi tidak lama mengalami itu. Karena suami juga selalu mendampingi terus.”
8. Apakah keluarga ada yang suka masakan dari daerah Anda ? Atau masakan Indonesia ? Misalnya apa ?
“Kalo bersama anak-anak bisanya makan-makanan Italia gitu, tetapi suami kalo datang ke Indonesia pasti carinya restoran padang. Dan karena di Jepang tidak ada makanan padang biasanya saya saat musim panas, menanam cabe, kunyit.”
9. Apakah anak-anak bisa berbahasa Indonesia ? Atau diajari bahasa daerah di tempat asal Anda ?
“Anak-anak diajari bahasa Padang. Pada tahun 2009 anak-anak sempat tinggal di Indonesia dan pas kembali ke Jepang anak-anak tidak bisa bahasa Jepang.”
10. Biasanya jika sendiri di rumah, kegiatan apa yang Anda lakukan untuk mengisi waktu luang ? Apakah mengikuti kegiatan sosial di sana ?
“Kalau di Jepang saya sibuk, kalau Di Indonesia ada pembantu. Kalau di Jepang pagi-pagi saya bangun jam 6 dan harus membuat bento, mencuci, memasak, mengantar anak sekolah karena di Jepang saya lakuin sendiri. Kalau kegiatan sosial saya ikut dan itu diwajibkan.”
LAMPIRAN 2
Berikut kami tampilkan capture video call bersama Meirina Badan Matsukura melalui LINE, hari Rabu, 7 Desember 2016 pukul 15.00 waktu Indonesia atau pukul 17.00 waktu Jepang.
Berikut adalah lay out tampilan percakapan atau chat kami dengan Ibu Meirina pada aplikasi LINE.
LAMPIRAN 3
DOKUMENTASI KELUARGA MATSUKURA
(Meirina Badan Matsukura & Takashi Matsukura saat sedang menikah dengan dari budaya Indonesia dan budaya Jepang.)
JEPANG DAN INDONESIA”
MATA KULIAH KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Bekasi, 20 November 2016
Preparing The Future
DI SUSUN OLEH:
ADE IRMA SURYANI (41182037150049)
DEVI VEVIANI (41182023150051)
TRI JAYA NUR FIARTO (41182037150058)
DOSEN PEMBIMBING: TIN HARTINI S. Ag., M. Si.
FAKULTAS: KOMUNIKASI, SASTRA & BAHASA
PROGRAM STUDI: ILMU KOMUNIKASI (B)
TAHUN AJARAN: 2016/2017
UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI
Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113
Telp.Fax : (021) 8808853
www.unismabekasi.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan nikmat serta hidayah-Nya, sehingga pembuatan penelitian sederhana kami yang berjudul “Penelitian Pernikahan Antarbudaya Jepang dan Indonesia” dapat terselesaikan. Tugas ini diajukan untuk pelaksanaan UAS semester tiga yang rencananya akan dilaksanakan pada 4 Januari 2016, sebagai pemenuhan nilai akhir Ujian Akhir Semester.
Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya, Ibu Tin Hartini S. Ag., M. Si. Yang turut membimbing pembuatan penelitian ini untuk mengarahkan kami untuk mencapai hasil yang maksimal. Tidak lupa kepada sumber-sumber data dari website yang turut mendukung mendukung efektifnya penjelasan dari makalah ini. Terutama kepada narasumber kami yang telah bersedia kami wawancarai meski jauh jaraknya, di Jepang, yaitu Ibu Meirina Badan Matsukura dan keluarga. Semoga penelitian ini dapat membawa pengaruh baik kepada kedua belah pihak dan tidak ada yang dirugikan salah satunya.
Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari penelitian yang kami buat ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang budiman. Semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari pembuatan “Penelitian Pernikahan Antarbudaya Jepang dan Indonesia” ini.
Bekasi, 21 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 4
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penulisan 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaran 7
B. Dampak Pernikahan Antarbudaya 9
C. Komunikasi dalam Pernikahan Antarbudaya 10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Teknik Pengumpulan Data 12
BAB III PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Wawancara 13
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 1 20
LAMPIRAN 2 24
LAMPIRAN 3 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam hidupnya. Kebutuhan akan komunikasi diawali dengan asumsi bahwasanya komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya. Kebutuhan ini dapat terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan antar individu yang berakibat akan terisolasi apabila tidak berkomunikasi.
Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan, karena pada dasarnya, ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain berpotensi memunculkan gap (kesenjangan) di antara kedua belah pihak. Hal tersebut disebabkan karena budaya setiap orang selalu berbeda dengan orang lain, bahkan sekecil apapun perbedaannya. Budaya yang berbeda memiliki sistem nilai, norma dan adat yang berbeda pula. Oleh karena itu, perbedaan tersebut dapat mempengaruhi tujuan hidup tiap individu.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya ini, cara setiap orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budayanya, mencakup bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikasi maupun makna yang dimiliki setiap orang. Sehingga, perbedaan perilaku komunikasi yang dimiliki orang yang berbeda budaya akan menimbulkan kesulitan dalam berinteraksi. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan kesalahpahaman sering terjadi ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki perbedaan budaya. Masalah utamanya adalah setiap individu cenderung menganggap bahwa budayanya merupakan sesuatu keharusan yang mutlak tanpa harus diperdebatkan lagi (Mulyana & Rakhmat, 2003: vii). Oleh karena itu, setiap orang menggunakan budayanya sebagai
parameter untuk mengukur budaya-budaya yang lain. Salah satu fenomena tentang perbedaan budaya ini adalah pernikahan antarnegara atau antarbudaya.
Pernikahan beda budaya atau beda negara, memerlukan komunikasi yang baik dan efektif untuk menghindari konflik-konflik yang akan terjadi. Pasangan dengan perbedaan budaya juga harus memiliki pola pikir yang terbuka terhadap pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai, dan norma. Jika salah satu pasangan tidak memiliki pola pikir terbuka, maka akan terjadi pemaksaan kehendak oleh pasangan untuk melakukan kepercayaan, nilai, dan norma sesuai yang dianut pasangan (Rulliyanti, 2008: 130).
Perbedaan budaya pada pasangan pernikahan beda budaya yang terjadi pada sebuah keluarga menuntut adanya sebuah keputusan bersama untuk mengikuti budaya yang mendominasi. Hal itu membuat salah satu dari budaya pada sebuah keluarga secara tidak langsung mengikuti budaya yang mendominasi sehingga seiring berjalannya waktu akan terjadi sebuah proses peleburan (proses asimilasi). Sebuah pernikahan memerlukan pengertian dan saling memahami masing-masing pasangan dengan latar belakang keluarga yang berbeda budaya.
Dalam era globalisasi ini, Indonesia mengalami perkembangan di berbagai bidang, seperti perkembangan di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang-bidang lainnya. Sehingga dengan adanya hal tersebut, mengakibatkan banyaknya warga negara asing dapat menetap di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Dengan menetapkan warga negara asing di Indonesia akan terjadi percampuran kebudayaan, demikian pula dengan warga Indonesia yang tinggal diluar negeri, antara satu dengan yang lainnya akan terjalin suatu hubungan emosional dan tumbuhlah benih kasih sayang atau cinta diantara mereka sehingga muncul keinginan dari dalam hati mereka untuk meneruskan hubungannya sampai pada perkawinan. Tidak sedikit warga negara asing yang melakukan perkawinan dengan warga negara Indonesia meskipun berbeda kewarganegaraan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaraan?
2. Bagaimana pengalaman yang dialami pasangan didalam pernikahan antar warga negara ini?
3. Bagaimana komunikasi dapat mempengaruhi pernikahan antar warga negara ini?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan penelitian ini yaitu untuk memenuhi syarat ujian akhir semester ganjil. Untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang dimaksud dengan pernikahan antar warga negara. Penelitian ini bertujuan menggali pengalaman hidup para subjek yang berhasil dalam melakukan komunikasi dengan pasangan berbeda budaya. Dari pengungkapan pengalaman tersebut kemudian dapat ditemukan tema-tema peting dan esensi perilaku komunikatif yang menujang keberhasilan pernikahan berlatar perbedaan budaya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Istilah pernikahan antarbudaya yang digunakan dalam penelitian ini disebut oleh ahli ilmu komunikasi dengan istilah yang berbeda-beda. Romano (2008:1) menyebutnya sebagai inter-cultural marriage. Sementara Hondius (Culigova-Grethe, 2004:10) menamainya dengan istilah mixed marriage. Para ahli lain menyebut feno-mena ini dengan istilah cross cultural marriage, international marriage, interethnic marriage, intercultural relationship, atau intermarriage. Falicov (1986:429), salah seorang peneliti di bidang ini menyebut istilah intercultural marriage sama saja dengan istilah intermarriage dan cross-cultural. Ketiga istilah tersebut dapat saling di-pertukarkan.
Meskipun ada beragam terminologi yang digunakan untuk menamai fenomena ini, pengertian yang diberikan terhadap istilah ini ternyata relatif sama yakni sebagai pernikahan dua orang invidu yang memiliki latar belakang budaya ber-beda (Duan & Claborne, 2012:1, Romano, 2008: 11). Munurut Falicov (1986), kata budaya yang menyertai kata perkawinan dalam istilah ini pada kenyataanya memiliki pengertian yang luas dan cair karena mencakup juga perbedaan agama, etnik, status sosial, negara, bahkan ras. Apabila ditelusuri lebih jauh, pernikahan
antarbudaya ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Samsudin (2009) menyebutkan pernikahan yang melibatkan pasangan berbeda etnik atau budaya atau agama telah terjadi sejak masa lalu bahkan sebelum masehi.
Meskipun telah dipraktekan manusia sejak beratus tahun yang lalu, pada kenyataanya riset tetang fenomena pernikahan antarbudaya ini masih jarang dilakukan. Sepuluh tahun lalu, Romano (2008:10) mencatat riset dalam perkawinan antarbudaya masih sangat jarang dilakukan. Sementara Giladi-Mckelvie (1999) menyebutkan fenomena pernikahan antarbudaya ini sudah sangat menyebar, akan tetapi fenomena ini masih sering diabaikan oleh ilmuwan sosial atau komunikasi. Dalam riset pernikahan antarbudaya selama dua puluh tahun terakhir fokus penelitian lebih banyak diberikan pada faktor gender, penerimaan sosial, membesarkan anak, identitas, pegelolaan konflik, pemeliharaan budaya, duku-ngan sosial, komunikasi, asimilasi dan akulturasi.
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia. Pengertian Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP).
Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
Peraturan mengenai perkawinan campuran atau disebut juga perkawinan beda kewarganegaraan yang pertama kali diatur dalam Staatsblaad tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR).
Menurut Pasal 58 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan” (Asmin, 1986 : 9 ).
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia. Menurut Undang-undang kewarganegaraan di dalam Undang-Undang Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 antara lain berisi ketentuan sebagai berikut:
Pasal 26 (1): “Perempuan warga negara indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.”
Pasal 26 (2): “Laki-laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraan republik Indonesia jika menurut hukum asal negara istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai perkawinan tersebut.”
Perkawinan canpur yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 59 (2) Perkawinan campuran itu tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang berlaku bagi pihak masing-masing telah di penuhi (H. Saidus Syahar, 1981 : 18).
B. Dampak Pernikahan Antar Budaya
Setelah menikah, pasangan beda warga negara ini pasti akan melakukan hal-hal yang dapat menjaga pernikahan mereka agar selalu harmonis. Hal itu dilakukan karena pasti akan dampak yang akan terjadi terhadap pernikahan antar warga negara ini. Mulai dari masalah kewarganegaraan hingga perbedaan budaya yang terjadi membuat kedua pihak mengalami culture shock.
Dalam Kepemimpinan Multikultural, Pencegah Gegar Budaya ( Cultural Shock ) Penyebab, Meletusnya Konflik Antar Etnis, (Seri Pendidikan Politik Rakyat Melalui Komunikasi Antarbudaya), Oleh: Ar. Kadir:
Perbedaan tradisi, budaya dan berbagai perilaku subkultur tertentu dalam kelompok masyarakat dapat dijadikan alat perekat membangun kebersamaan (togetherness) untuk tujuan dan tercapainya kepentingan bersama atas dasar saling peduli, saling menghormati dan saling mempercayai sesama anak bangsa.
Kata kunci yang sangat penting dalam komunikasi antar budaya adalah ketulusan dalam komunikasi dialogis setiap komponen dan anggota kelompok budaya, yang diiringi oleh sikap pribadi yang bebas dari rasa permusuhan dan prasangka.
Dalam Jurnal Ilmu Hukum Perkawinan Campuran Dan Akibat Hukumnya, Oleh: Sasmiar:
1. Anak yang lahir dari perkawinan campuran akan memperoleh
kewarganegaraan ganda sampai berusia 18 tahun atau sampai menikah. Setelah bersuia 18 Tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewaganegaraannya.
2. Perempuan WNI dan laki-laki WNI yang menikah dengan WNA dapat
kehilngan kewarganegaraan Indonesia, jika ingin tetap mnjadi WNI harus
menyatakan keinginannya kepada pejabat. WNA yang menikah secara sah dengan WNI dapat memproleh kewarganegaraan Indonesia jika sudah tinggal di Indonesia 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
C. Peran Komunikasi dalam Pernikahan Antar Budaya
Aspek komunikasi telah menjadi isu peting dalam pernikahan antarbudaya khususnya dalam se-puluh tahun terakhir. Namun demikian menurut Lewis &
Ford-Robertson (2010:2) selama tahun-tahun terkahir ini riset tentan perikahan antarbudaya lebih banyak membahas tentang penerimaan sosial, identitas diri, dan cara membesar-kan anak.
Meskipun Kajian Komunikasi pernikahan antarbudaya telah menjadi isu penting dalam sepuluh tahun terakhir, menurut Gaines & Ickes (2006) riset di bidang ini masih kurang berkembang. Padahal komunikasi dalam pernikahan antarbudaya sangat menantang karena pasangan yang bersatu dalam ikatan
pernikahan ini tidak cukup hanya bermodalkan cinta semata, tetapi juga harus memahami dan menghormati perbe-daan nilai, sistem keyakinan hingga tradisi keluarga. Pendeknya kedua pasangan tersebut harus pan-dai saling berbagi tentang latar belakang, dan ekspektasi-ekspektasi mereka.
Merujuk pada Houseworth (2008:11), Romano (2008:125) dan Donovan (2001:5) komunikasi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan membina pernikahan antarbudaya. Lewat komunikasi pasangan bisa saling berbagi cara pandang dan berbagi makna untuk mem-bangun pengertian bersama (common meaning) di antara suami istri. Sebaliknya tanpa berbagi perspektif, pasangan
dapat mempersepsi peris-tiwa atau situasi secara berbeda dan akhirnya menghambat proses saling mengerti. Apabila ini terjadi maka stress dan kekecewaan terhadap perkawinan akan muncul dan akhirnya menurun-kan kualitas hubungan dalam perkawinan (Peres, Schrift, 2001).
Riset di bidang komunikasi perkawinan antarbudaya selama sepuluh tahun terakhir, seperti dilakukan Donovan (2004), Salama (2001), Tiffany (2011) dan Romano (2008), diarahkan untuk mengetahui aspek-aspek komunikasi yang dianggap mampu mengatasi perbedaan budaya dan meningkatkan kualitas hubugan pasangan berbeda budaya. Namun demikian dari berbagai penelitian yang dilakukan, tidak ada satu peneliti pun yang secara tegas meyebutkan aspek-aspek perilaku komunikasi yang penting dipelajari untuk keberhasilan sebuah komunikasi perkawinan yang berlatar antarbudaya.
Romano (2008:130-144) sebagai ahli di bidang komunikasi pernikahan antarbudaya juga tidak secara tegas menyebutkan faktorfaktor komunikasi yang penting dalam menjalani per-nikahan antarbudaya. Namun demikian, tulisan-tulisan Romano pada dasarnya menyebutkan delapan aspek komunikasi yang perlu ada dalam pernikahan antarbudaya yang meliputi kemam-puan berempati, kesabaran, kesediaan mema-hami, empati, penyesuaian diri, fleksibel, toleran, dan keinginan untuk mengekspresikan pendapat dan ekspektasi diri terhadap pasangan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini berfokus pada pengalaman narasumber yang menjalani pernikahan antar warga negara. Lebih tepatnya, narasumber kami ini WNI yang sudah tinggal di Jepang mengikuti sang suami yang WNA. WNI yang menjadi narasumber kami adalah seoarng perempuan yang telah menikah sejak Februari 1997 dengan laki-laki berkebangsaan Jepang.
Data yang kami kumpulkan adalah bersumber dari hasil wawancara atau kualitatif deskriptif, dengan perempuan WNI ini dengan perantara video call LINE karena jarak antara kami dengannya yang tidak memungkinkan. Kami di Indonesia, tepatnya di Bekasi dan narasumber kami di Gunma-Ken, Jepang. Selain catatan dari wawancara, data kami juga bersumber dari beberapa jurnal ilmu komunikasi mengenai pernikahan antarbudaya atau antarnegara atau antar warga negara atau beda kewarganegaraan. Serta literatur menjadi tambahan kami untuk melengkapi penelitian sederhana kami tentang “Pernikahan Antarbudaya Indonesia Dengan Jepang Ini.”
Penelitian ini merupakan penelitian sederhana kami yang merujuk pada penelitian-peneltian sebelumnya sebagai titik acuan kami untuk menyelesaikan penelitian kami ini. Jadi, penelitian ini adalah terkait pengalaman narasumber yang kemudian kami kaitkan dengan teori yang ada tentang “Pernikahan Antarbudaya Indonesia dan Jepang” ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Wawancara
Penelitian yang coba kami bahas adalah penelitian tentang Pernikahan atau Perkawinan antarbudaya atau beda negara yang terjadi antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, yakni Warga Negara Jepang.
Meirina Badan Matskura adalah narasumber kami yang berkewarganegaraan Indonesia tepatnya berasal dari daerah Padang, Sumatera Barat yang merupakan istri dari Takashi Matskura yang berkewarganegaraan Jepang yang bertempat tinggal di Gunma-Ken. Dari hasil wawancara kami, diketahui bahwa Ibu Mei dan Bapak Takashi ini dikaruniai tiga orang anak dan sudah menikah sejak tahun 1997.
Pernikahan beda warganegara keluarga Matsukura ini dapat digolongkan pernikahan internasional dan pernikahan antar golongan seperti yang dijelaskan Staatblad 1896 N0. 158.
Menurut Staatblad 1896 N0. 158, pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan, 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut:
Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang
berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam
lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
Dalam jurnal Fenomenologi Komunikasi Perkawinan Antarbudaya, Antar Venus, Fakultas Komunikasi Universitas Riau Padjadjaran Bandung:
Romano (2008) dan Giladi-Mckelvie (1999) dan juga beberapa penelitian yang dilakukan oleh Richard lewis (2012) dan Phisoy Salama (2011), pernikahan yang sukses didefinisikan berdasarkan tiga kriteria yakni; (1) mampu bertahan selama sepuluh tahun atau lebih, (2) masing-masing pasangan merasakan kepuasaan dengan hubungan, dan (3) mereka berhasil mengatasi perbedaan dan konflik berlatar budaya secara baik.
Sepertinya, pernikahan keluarga Matsukura dapat dikatakan pernikahan sukses seperti penjelasan diatas. Mendengar pengalaman Ibu Mei selama menikah, kami merasa takjub. Selama 20 tahun menikah, ia mengaku bahwa jarang sekali mereka bertengkar. Suaminya sangat pendiam. Adakalanya saja tegas ketika memang sudah sangat dibutuhkan. Suami Ibu Mei ini juga dapat dikatakan sedikit bicara. Berbeda dengan apa yang kami fikirkan tentang orang Jepang yang sangat tegas dan sudah pasti banyak bicara yang bermakna agar dihormati. Tetapi lain dengan yang kami temukan pada keluarga Matsukura ini. Ternyata, perbedaan negara dan budaya tidak menghalangi keduanya untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya.
Dalam jurnal Strategi Komunikasi Efektif Suami-Istri Beda Budaya Dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba Dalam Mendidik Anak Di Kota Medan) Lucy V. Hutajulu:
Pernikahan campuran merupakan sebuah tantangan baru bagi orang tua pelaku pernikahan campuran tersebut dalam hal mendidik anak. Latar belakang budaya yang berbeda dari masing-masing pihak akan sangat menentukan dalam pola mendidik anak. Hal ini kerapkali menjadi pemicu konflik ketika kedua pihak pelaku pernikahan terkesan saling mendominasi dalam menerapkan pola mendidik anak.
Anak-anaknya pun diketahui cukup pintar dan mendapat juara kelas di sekolahnya. Ini pun menjadi salah satu bukti keberhasilan pernikahan beda negara dan beda budaya. Betapa tidak, komunikasi lintas budaya yang terdapat dalam komunikasi antarbudaya ini, seperti berjalan dengan cukup baik. Saling menjaga komunikasi kepada anggota keluarga. Mendidik dan membimbing anak dengan saling melengkapi dan memadupadankan budaya dari kedua ayah dan ibu kepada anak-anaknya.
Ketika ditanya perbedaan antar keduanya, Ibu Mei merasa tak ada perbedaan. Karena sama-sama dari benua Asia, budaya timur menjadi dominan dalam keluarga ini. Jepang dan Indonesia hampir tak memiliki perbedaan. Bedanya, tingkat disiplin dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Kata ibu Mei, di Jepang tak ada mobil saling menyalip, semua taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Begitu pula, ketika di sekolah. Semua murid, saling mengerjakan piket sekolah untuk membersihkan kelas masing-masing tanpa penjaga sekolah seperti di Indonesia.
Ada hal lain yang membuat kami heran adalah suami dari Ibu Mei, Takashi Matsukura adalah penyuka makanan Padang. Kami awalnya mengira, orang Jepang tidak begitu menyukai makanan bersantan dan cukup pedas seperti makanan Padang, ternyata anak dan suaminya suka masakan dan makanan khas Padang. Ketika sempat berkunjung ke Indonesia, suami Ibu Mei ini pasti mencari makanan khas Padang. Ini adalah salah satu hal unik yang dapat ditemukan pada perkawinan campuran dari segi makanan. Biasanya, kepala keluarga yang akan mendominasi dari budayanya, namun tidak bagi keluarga Matsukura ini. tetapi ketika ditanya siapa yang paling dominan, Ibu Mei menyangkal hal itu, dan lebih senang menilai bahwa tidak ada yang dominan, nilai-nilai yang diambil adalah yang baikbaik saja. Baik dari Indonesia, khususnya Padang dan Jepang, khususnya Gunma.
Keseriusan Bapak Takashi Matsukura terlihat jelas ketika dia menyanggupi semua persyaratan yang diajukan Ibu Meirina terhadapnya dan menjadi mualaf. Keluarga Ibu Mei sungguh sangat khawatir bagaimana nanti anaknya jika ikut bersama suaminya ke Jepang. Apa yang akan terjadi pada kehidupan Ibu Mei selanjutnya menjadi pemikiran keras keluarga mengingat ini bukan pernikahan beda suku di Indonesia, melainkan beda negara. Terpisah jarak bermil-mil jauhnya. Berbeda kewarganegaraan dan juga keyakinan. Agaknya menjadi tantangan terbesar dalam menyatukan kedua beda budaya ini dalam menyatukan perbedaan keduanya.
Gegar budaya sempat dialami oleh Ibu Mei ketika baru saja pindah ke Gunma, Jepang. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena sang suami, Takashi Matsukura selalu mendampinginya selama tinggal di Jepang. Culture Shock yang dirasakan Ibu Mei ini seperti tidak biasa melihat acara keagamaan ke klenteng-klenteng peribadatan dan sikap orang-orang Jepang yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Tetapi lama kelamaan, Ibu Mei merasa sama sebenarnya seperti di Indonesia, hanya saja berbeda bentuk simbolnya.
Selanjutnya, pengalaman unik keluarga Matsukura ini adalah ketika di tahun 2009 mengunjungi Indonesia untuk beberapa waktu, mereka jadi tidak bisa berbahasa Jepang setelah kembali Jepang. Ibu Mei juga mengajarkan bahasa daerah Padang kepada anak-anaknya, untuk menjaga kelancaran komunikasi dengan keluarga besarnya di Padang. Sungguh, perpaduan yang manis dan sifat terbuka dari kedua belah pihak sehingga komunikasi antarbudaya yang terjadi menjadi seolah tidak terlihat.
Pada awalnya memang semenjak menikah hingga mempunyai anak, ia tidak diperbolehkan bekerja oleh sang suami dikarenakan takut tidak ada yang menjaga anak-anak jika kedua orangtua sibuk bekerja. Barulah ketika umur anak-anak mereka cukup, sekarang sudah ada yang menginjak Sekolah Menengah Pertama, Ibu Mei diperbolehkan bekerja setelah 17 tahun kelahiran anak pertamanya. Ibu Mei pun sebelumnya dan hingga sekarang awal baru meniti karirnya, juga berpartisipasi di kegiatan sosial di lingkungannya yang diwajibkan untuk diikuti.
Komunikasi merupakan jembatan untuk mengatasi perbedaan antara pasangan yang berbeda budaya. Pengalaman dan proses komunikasi yang dialami informan menunjukan adaya sepuluh tema penting yang muncul dalam komunikasi berlatar pernikahan antarbudaya ini yakni; Kesetaraan, keterbukaan, ekspresi rasa cinta, hati-hati menafsirkan, empati, open minded, tantangan, enjoy, penyesuaian, dan ngemong. Kesepuluh tema tersebut kalau dikelompokkan sebenarnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni tema-tema terkait ekspresi seperti kesetaraan, keterbukaan, dan ekspresi rasa cinta.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan didalam penelitian ini, simpulannya adalah sebagai berikut.
1. Pernikahan beda budaya memerlukan komunikasi yang baik dan efektif untuk menghindari konflik-konflik yang akan terjadi. Pasangan dengan perbedaan budaya juga harus memiliki pola pikir yang terbuka terhadap pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai, dan norma. Jika salah satu pasangan tidak memiliki pola pikir terbuka, maka akan terjadi pemaksaan kehendak oleh pasangan untuk melakukan kepercayaan, nilai, dan norma sesuai yang dianut pasangan. Komunikasi efektif yang ditunjukkan kedua pasangan dan seluruh anggota keluarga menjadi sangat penting untuk menjaga keharmonisan didalam pernikahan antar warga negara ini.
2. Perbedaan budaya pada pasangan pernikahan beda budaya yang terjadi pada sebuah keluarga menuntut adanya sebuah keputusan bersama untuk mengikuti budaya yang mendominasi. Hal itu membuat salah satu dari budaya pada sebuah keluarga secara tidak langsung mengikuti budaya yang mendominasi sehingga seiring berjalannya waktu akan terjadi sebuah proses peleburan (proses asimilasi). Sebuah pernikahan memerlukan pengertian dan saling memahami masing-masing pasangan dengan latar belakang keluarga yang berbeda budaya.
B. Saran
Kepada peneliti selanjutnya, semoga seluk beluk pernikahan antar warga negara dapat lebih dimaksimalkan. Diharapkan pembaca dapat memaksimalkan manfaat dari “Penelitian Pernikahan Antarbuday Indonesia dan Jepang” ini.
DAFTAR PUSTAKA
Samovar, Larry A. 2014. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.
Mulyana, Deddy. 2010. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
FENOMENOLOGI KOMUNIKASI PERKAWINAN ANTARBUDAYA. Antar Venus. Fakultas Komunikasi, Universitas Riau Padjadjaran Bandung.
KEPEMIMPINAN MULTIKULTURAL. PENCEGAH GEGAR BUDAYA (CULTURAL SHOCK ) PENYEBAB MELETUSNYA KONFLIK ANTAR ETNIS.
(Seri Pendidikan Politik Rakyat Melalui Komunikasi AntarBudaya) Oleh : AR. Kadir
HAK ANAK MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN DARI PERKAWINAN CAMPURAN. Oleh: Yunanci Putri Sugeha2 Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014
Jurnal Komunikasi adat Jawa dan Minangkabau
PELAKSANAAN PERKAWINAN ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA
DAN WARGA NEGARA ASING SETELAH BERLAKUNYA UNDANG –
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
DI KOTA DENPASAR PROVINSI BALI. Program Studi Magister Kenotariatan
O l e h: DEBORA DAMPU
Jurnal Ilmu Hukum. PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Oleh: Sasmiar1.
PERKAWINAN CAMPURAN (Problematika dan solusinya). Drs. H. Nawawi. N, M.Pd.I dan Widyaiswara Madya. Balai Diklat Keagamaan Palembang
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM MANGAIN MARGA
(Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antar Budaya Dalam Praktek Mangain Marga Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Dan Jawa Di Soloraya). Tifani Helentina & Hamid Arifin. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
MANAJEMEN KONFLIK PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG MENJALANI PERKAWINAN CAMPURAN
(Studi Fenomenologi pada Pasangan Perkawinan Campuran Wanita Jawa dengan Pria Eropa). Nur Laili Oktafiani , Amir Hasan Ramli , dan Yunita Kurniawati
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.
STRATEGI KOMUNIKASI EFEKTIF SUAMI-ISTRI BEDA BUDAYA DALAM MENDIDIK ANAK. (Studi Kasus Pasangan Suami-Istri Suku Jawa-Batak Toba Dalam Mendidik Anak di Kota Medan). Lucy V. Hutajulu.
LAMPIRAN 1
HASIL WAWANCARA
BIODATA NARASUMBER
Narasumber : Meirina Badan Matsukura (Istri Takashi Matsukura)
Umur : 43 Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Yoshida 956-15 Oizumi-machiOura-gun Gunma-Ken, Japan
Pendidikan : SMEA
Suami
Nama : Takashi Matsukura
Umur : 51Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Yoshida 956-15 Oizumi-machiOura-gun Gunma-Ken, Japan
Pendidikan : Universitas (Institute of Technology Tokyo University)
PERANTARA NARASUMBER
Nama : Chelsy Yulianti Shafira (Keponakan Meirina Badan Matsukura)
Umur : 20Tahun
Status : Mahasiswi
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. WaliSongo Raya Blok O Komp. Borobudur
Pendidikan : The London School Of Public Relations Jakarta
PERTANYAAN
1. Bagaimana awal mulanya Anda bertemu dengan calon Anda ?
“Pertama kali bertemu ditempat bekerja di Hotel Daichi Senen yang sekarang menjadi Hotel Lumire. Saat itu saya cashier dan suami saya adalah guest hotel. Awalnya biasa-biasa saja seperti tamu-tamu lainnya tapi setelah ia balik ke Jepang kami berkomunikasi lewat pos, dan kemudian telepon.”
2. Bagaimana proses pernikahan Anda ? Mengingat perbedaan latar belakang budaya yang berbeda !
“Kemudian setelah beberapa bulan berkomunikasi lewat telepon kemudian ia mengutarakan niat untuk melamar saya dan menyanggupi persyaratan seperti yang berlangsung di Indonesia, lumayan repot juga dan Alhamdulillah berhasil dilewati tanpa ada halangan dan sepertinya tidak ada latar belakang budaya yang berbeda, menurut ku sama karena kultur budaya Jepang dan Indonesia sama-sama dari Timur.”
3. Selama menikah, apa saja hambatan ketika berkomunikasi ?
“Selama kami menikah sepertinya tidak ada hambatan mungkin tergantung dari individunya saja, hampir tidak pernah kami bertengkar dan kebetulan suami saya seorang pendiam (sedikit bicara) tapi bijaksana, kami menikah pada bulan Februari 1997 dan mempunyai 3 orang anak yang pertama sudah menginjak kelas 3 SMA, yang kedua kelas 1 SMP, dan yang ketiga kelas 5 SD, dan ketiga-tiganya alhamdulilah mendapat ranking diatas rata-rata.”
4. Bagaimana cara mengatasinya ?
“Karena sama-sama dari Timur banyak persamaan seperti hubungan dengan keluarga ayah dan ibu mempunyai hubungan yang baik, hanya perbedaannya mereka yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi seperti disekolah, mereka menjaga merawat dan membersihkan sekolah bersama-sama dengan guru yang berbeda dengan di Indonesia yang sudah ada yang merawat dan membersihkan sekolah dengan bantuan pak penjaga sekolah mereka tertib mengantri dalam lalu lintas, mereka tertib dan lancar, belum pernah lihat ada mobil yang menyalip, sangat berbeda dengan Indonesia.”
5. Apa saja nilai-nilai, struktur sosial, dan adat istiadat dari budaya yang berbeda ini?
“Anak-anak sama-sama mengikuti budaya Ayah dan Ibu diambil baiknya saja.”
6. Bagaimana dulu tanggapan keluarga ketika akan menikah dengan orang Jepang dan berencana tinggal disana ?
“Kalau tanggapan keluarga terutama ibu tidak setuju sampai ibu menangis tetapi sudah dijelaskan kalau suami mau masuk Islam.
7. Pertama kali tinggal di Jepang pernah mengalami culture shock ?
“Yang pertama pasti shock kaya lain, tetapi tidak lama mengalami itu. Karena suami juga selalu mendampingi terus.”
8. Apakah keluarga ada yang suka masakan dari daerah Anda ? Atau masakan Indonesia ? Misalnya apa ?
“Kalo bersama anak-anak bisanya makan-makanan Italia gitu, tetapi suami kalo datang ke Indonesia pasti carinya restoran padang. Dan karena di Jepang tidak ada makanan padang biasanya saya saat musim panas, menanam cabe, kunyit.”
9. Apakah anak-anak bisa berbahasa Indonesia ? Atau diajari bahasa daerah di tempat asal Anda ?
“Anak-anak diajari bahasa Padang. Pada tahun 2009 anak-anak sempat tinggal di Indonesia dan pas kembali ke Jepang anak-anak tidak bisa bahasa Jepang.”
10. Biasanya jika sendiri di rumah, kegiatan apa yang Anda lakukan untuk mengisi waktu luang ? Apakah mengikuti kegiatan sosial di sana ?
“Kalau di Jepang saya sibuk, kalau Di Indonesia ada pembantu. Kalau di Jepang pagi-pagi saya bangun jam 6 dan harus membuat bento, mencuci, memasak, mengantar anak sekolah karena di Jepang saya lakuin sendiri. Kalau kegiatan sosial saya ikut dan itu diwajibkan.”
LAMPIRAN 2
Berikut kami tampilkan capture video call bersama Meirina Badan Matsukura melalui LINE, hari Rabu, 7 Desember 2016 pukul 15.00 waktu Indonesia atau pukul 17.00 waktu Jepang.
Berikut adalah lay out tampilan percakapan atau chat kami dengan Ibu Meirina pada aplikasi LINE.
LAMPIRAN 3
DOKUMENTASI KELUARGA MATSUKURA
(Meirina Badan Matsukura & Takashi Matsukura saat sedang menikah dengan dari budaya Indonesia dan budaya Jepang.)
Komentar
Posting Komentar