Pada acara Pameran Karya Seni
dua tahunan,
Jakarta Biennale
2017, Melati Suryodarmo yang dipilih sebagai
Artistik Direktur tahun ini mengangkat
konsep ‘’JIWA’’ sebagai gagasan
artistiknya.
Jakarta
Biennale 2017 mengeksplorasi identitas, sejarah kesenian, sistem kepercayaan
hingga ujung batas-batas kebebasan.
Jakarta
Biennale merupakan perhelatan akbar seni rupa kontemporer Indonesia yang
dilangsungkan setiap dua tahun sekali. Pertama kali digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 1974 dengan
nama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia.
Sejak 2009, Jakarta Biennale diselenggarakan dalam skala Internasional.
Kegiatan ini terakhir digelar pada 2015 dengan tajuk “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang.”
Tahun
ini, Jakarta Biennale 2017 dibuka 4 NOVEMBER 2017,
19:00, Gudang Sarinah Ekosistem
PAMERAN:
5 November 2017 – 10 Desember 2017
BUKA
SETIAP HARI 11.00 – 19.00
Jakarta Biennale
didukung oleh:
- Dewan Kesenian Jakarta,
- Kedutaan Denmark,
- Stichting DOEN,
- Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
(Bekraf),
- Mori Building Co., Ltd.,
- The Japan Foundation Asia Center,
- KADIST,
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia,
- Goethe Institut,
- Bamboo Curtain Studio,
- British Council,
- Swiss Art Council Pro Helvetia, N
- ational Arts Council Singapore,
- Institut für Auslandbeziehungen (ifa)
dan Institut Francais Indonesia (IFI).
Beberapa karya dengan
medium di luar lukisan ditampilkan seperti seni instalasi, seni video, dan performance. Begitu juga pada perhelatan BJ
1993, Jakarta Biennale pertama kalinya menggunakan kurator (pengurus atau pengawas gedung pameran seni lukis) sebagai
perumus perspektif pemilihan dan penyajian karya dalam pameran.
Terobosan
lainnya adalah menyelenggarakan karya-karya seni rupa di berbagai ruang publik
Jakarta. Jakarta Biennale 2011 hair
dengan tema Maximum City, untuk menanggapi kota Jakarta yang semakin penuh dan
juga sesak. Skala acara menjadi semakin besar, melibatkan lebih dari 150
seniman dan puluhan lokasi di ruang publik.
Tidak
hanya bertempat di Gudang Sarinah, Yayasan Jakarta Biennale
Gudang Sarinah Ekosistem Jl. Pancoran Timur II no. 4 Jakarta Selatan 12780 Indonesia, pameran dari dalam dan luar negeri ini juga digelar di Museum Seni Rupa dan Museum Keramik. Pameran Biennale menghadirkan 81 pelukis dari berbagai wilayah. Selain penyelenggaraan pameran, sebuah panel juri dibentuk untuk memberikan penghargaan pada karya-karya terbaik dalam pameran tersebut.
Gudang Sarinah Ekosistem Jl. Pancoran Timur II no. 4 Jakarta Selatan 12780 Indonesia, pameran dari dalam dan luar negeri ini juga digelar di Museum Seni Rupa dan Museum Keramik. Pameran Biennale menghadirkan 81 pelukis dari berbagai wilayah. Selain penyelenggaraan pameran, sebuah panel juri dibentuk untuk memberikan penghargaan pada karya-karya terbaik dalam pameran tersebut.
JIWA: Jakarta Biennale 2017
akan menampilkan karya-karya
dari:
Abdi
Karya (Indonesia), Afrizal Malna
(Indonesia), Alastair MacLennan (UK), Alexey
Klyuykov, Vasil Artamonov & Dominik Forman (Czech Republic), Ali
Al-Fatlawi & Watiq Al, Ameri (Switzerland), Aliansyah
Caniago (Indonesia), Arin Rungjang (Thailand), Bissu
(Indonesia), Chiharu Shiota (Japan), Choy Ka
Fai (Singapore), Dana Awartani (Arab Saudi), Darlane
Litaay (Indonesia), David Gheron Tretiakoff
(France), Dineo Seshee Bopape (South Africa), Dolorosa
Sinaga (Indonesia), Dwi Putro Mulyono (Pak
Wi) (Indonesia), Em’kal Eyongakpa (Cameroon), Eva
Kot’átková (Czech Republic), Gabriela
Golder (Argentina), Garin Nugroho
(Indonesia), Gede Mahendra Yasa (Indonesia), Hanafi
(Indonesia), Hendrawan Riyanto (Indonesia), Hito
Steyerl (Germany), Ho Rui An (Singapore), I Made
Djirna (Indonesia), I Wayan Sadra
(Indonesia, Imhathai Suwathanasilp (Thailand), Jason
Lim (Singapore), Karrabing Film Collective (Australia), Keisuke
Takahashi (Japan), Kiri Dalena
(Philippines), Luc Tuymans (Belgium), Marintan
Sirait (Indonesia), Mathieu Abonnenc
(France), Ni Tanjung (Indonesia), Nikhil
Chopra (India), Otty Widasari (Indonesia), Pawel
Althamer (Poland), Pinaree Sanpitak
(Thailand), PM Toh (Indonesia), Ratu
Rizkitasari Saraswati (Indonesia), Robert
Zhao Renhui (Singapore), Semsar
Siahaan (Indonesia), Shamow’el Rama
Surya (Indonesia), Siti Adiyati (Indonesia), Ugo
Untoro (Indonesia), Willem de Rooij (The
Netherlands), Wukir Suryadi (Indonesia), Ximena
Cuevas (Mexico), Yola Yulfianti (Indonesia)
‘’Karya-karya
yang ada didalam Pameran tersebut sangat bagus. Seharusnya ada penambahan biaya
masuk dan include agar tambah menarik. Tour guied ditambah agar mempermudah
pengunjung bisa dipandu dari satu karya ke lainnya,’’ kata Devi selaku
Mahasiswa yang berkunjung, Kamis
(7/17).
Salah satu karya seni yang menjadi
daya tarik pengunjung adalah karya
Hanafi dengan nama ‘’Perjumpaan Pertama
dengan Bahasa’’. Dia menampilkan karya seni berupa susunan ribuan pensil
yang ditata sebegitu rupa. Tak hanya pensil, di area ini pun disediakan jaket
dengan seperti tertusuk pensil. Sehingga sensasi yang dirasakan ketika
pengunjung ingin berfoto di bagian tersebut, adalah luas biasa unik dan tidak
biasa.
Karya
Seni ini menjadi yang terfavorit dan menjadi yang terbaik untuk Jakarta
Biennale 2017. Dijelaskan di jakartabiennale.net karya Hanafi yang lahir di
Purworejo, 1960 ini, Proyek Hanafi untuk Jakarta Biennale
2017 adalah representasi ingatannya mengenai bahasa, bertajuk Perkenalan
Pertama dengan Bahasa. “Setelah bahasa ibu, berbagai bahasa datang
kepadaku, dalam bentuk dan rupa,” tulis Hanafi. Tak hanya sebagai bunyi tetapi
juga imaji rupa. Bahasa-bahasa itu datang dan menggugah kepekaan artistik. Kata
Hanafi, bahasa menghadap-hadapkan tubuh pada “dunia”.
‘’Tertarik untuk melihat karya dari
pensil ini yang sebenarnya homogen namun timbul jiwa seni tersebut. Karya seni
ini TERNIAT daripada karya seni
lainnya yang juga tak kalah niatnya. Bagi saya, karya seni pensil ini cukup
menyita perhatian saya sebagai orang non penikmat seni,’’ ucapnya.
Objek pensil adalah sarananya yang paling awal untuk
menuliskan bahasa ibu, sebelum ia mengenal bahasa lain, yakni bahasa rupa.
Namun, apa yang ditulis oleh pensil tak hanya yang tertuang pada kertas, tetapi
juga yang tergores di udara oleh pangkal pensil. Tindakan menulis di ruang
kosong—yang abstrak ini—bagi Hanafi tetap bermakna sebagai “bahasa”.
Bahasa kini dituliskan kembali melalui performans oleh
penonton dengan mengenakan jas dan mantel yang dirancang khusus—yang bisa
menjadi alusi akan panah-panah yang menancap pada tubuh Bisma dalam lakon
Baratayuda. Inilah peluang bahasa bagi perupa untuk merelasikan apa yang
tertulis dan tak tertulis. Perkenalan Pertama dengan Bahasa adalah
puitika untuk mengenang kembali rupa bahasa melalui laku performatif tubuh.
Hanafi belajar
seni rupa di Yogyakarta (1976–1979) dan pindah ke Jakarta pada awal 1990-an
untuk mengembangkan kesenimanannya. Baginya, kesenimanan adalah sebuah jembatan
taksa antara “berkarya” dan “bekerja”. Ia telah berpameran tunggal sejak awal
1990-an, baik di Indonesia maupun di sejumlah negara manca (Singapura,
Malaysia, Hongkong, Cina, Yunani, Spanyol, dan Kanada). Yang terakhir adalah
“Pintu Belakang/Derau Jawa”, berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta,
2016.
Selain karya Pencil dari Hanafi ini, ada lagi karya
yang cukup menyita perhatian yaitu Ecek Gondok Berbungan Emas.
Eceng Gondok Berbunga
Emas merupakan karya Siti Adiyati kelahiran 1951 Yogyakarta yang pertama kali dihadirkan dalam
pameran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Menggambarkan jurang
masyarakat antar kaya dan miskin yang makin
mencolok di Jakarta. Harga setangkai mawar plastik ini dieprkirakan setara dengan 3 kilogram beras miskin (raskin).
“Pada saat itu harga sekilo beras sama
nilainya dengan setangkai bunga mawar plastik di toko. Bunga mawar plastik
adalah benda mewah yang mesti diimpor, digemari oleh kalangan atas Jakarta.
Sedangkan masyarakat miskin sulit sekali membeli sekilo beras untuk kehidupan
sehari-hari mereka. Dan di masa itu tidak ada seniman yang tertarik pada
sesuatu yang hidup. Para seniman – kaum laki-laki – hanya tertarik pada benda-benda
mati saja,” tutur Siti Adiyati.
Dalam Jakarta Biennale 2017,
Siti Adiyati memperbesar kolam eceng gondoknya. Kolam Eceng
Gondok Berbunga Emas di sini berukuran 20 x 8 meter dengan
kedalaman air 30 cm. Seluruh permukaannya ditutupi ratusan eceng gondok dan
1.600-an batang mawar plastik bersepuh emas. Eceng gondoknya berasal dari
empang sebuah perusahaan real-estate terkemuka
di Jakarta Utara. Harga setangkai mawar plastik ini setara 3 kilogram beras
raskin – beras untuk kaum miskin. Perbandingan antara harga-harga kebutuhan
pokok dan barang-barang konsumtif menjadi semakin lebar setelah 40 tahun.
Acara ini pun didukung oleh banyak sekali media
partner, sponsor, dan lembaga atau institusi pendidikan lainnya seperti yang
ditampilkan diatas. Dengan banyaknya kerjasama antara Jakarta Biennale 2017
dengan institusi diatas membuat acara
ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Penulis: Siti Hariyanti Editor: Devi Veviani
Komentar
Posting Komentar